Subscribe to:
Posts (Atom)
PERKEMBANGAN SHIPYARD DI BATAM, INDONESIA
Keberhasilan mengembangkan Batam sebagai daerah industri, perdagangan, galangan kapal dan pariwisata sejak dikeluarkannya Keppres No 41 tahun 1973 dan Keppres No 05 tahun 1983 tidak bisa disangkal lagi oleh siapapun juga. Batam yang sebelumnya daerah kecil yang hanya dihuni oleh sekitar 6.000 jiwa, kini tampil sebagai daerah industri bertaraf Internasional dengan 460 Penanaman Modal Asing (PMA) dan tidak kurang dari 1.440 Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN) dengan nilai investasi mencapai 6,8 milliar dolar AS. Tidak salah, jika Pemerintah Pusat menjadikan Batam sebagai lokomotif perekonomian nasional yang kini sedang melakukan pemulihan ekonomi (recovery)..
Dengan menyediakan lahan yang siap disewa sekitar 6.700 hektare, dengan garis tepi pantai sepanjang 18 kilometer, Batam menjadi tempat yang cukup representatif dalam mengembangkan industri galangan kapal. Belum lagi variasi kedalaman pantai yang mencapai 6 sampai 18 meter. Tak salah jika pihak Otorita Batam berharap wilayahnya menjadi surga industri galangan kapal. Harapan itu sah-sah saja, mengingat Batam memiliki banyak keunggulan. Wilayahnya yang berstatus free trade zones memungkinkan pengusaha kapal di wilayah ini mendapat kemudahan pajak. Kondisi ini tentu sangat menguntungkan. Apalagi, hampir 70% bahan pembuatan kapal masih diimpor dari Jepang dan Eropa lewat Singapura. Jarak yang cukup dekat antara Batam dan Singapura pun menjadi faktor pendukung lain dalam hal pengadaan barang untuk industri ini. Bila memesan Bahan,satu hari sudah sampai. Praktis, proses pengerjaan kapal tak terhambat pasokan bahan. Tak hanya itu, sewa lahan yang relatif masih murah dibandingkan dengan wilayah lain untuk industri galangan kapal membuat Batam makin dilirik investor. Bayangkan saja, ketika Jakarta dan Surabaya --dua wilayah lain yang juga dikenal sebagai basis industri galangan kapal-- mematok harga sewa di atas Rp 100.000 per meter per tahun, Batam jauh lebih murah. Di Batam, paling sekitar Rp 20.000. Belum lagi jika dibandingkan dengan harga sewa negara tetangga, Singapura. Menurut Bapak Mustofa Wijaya Ketua Badan Pengembangan Otorita Batam, Sewa tanah di Singapura jauh lebih mahal. Apalagi, Singapura membatasi perusahaan galangan kapal, lantaran industri itu membutuhkan areal yang luas. Tak mengherankan jika industri galangan kapal di Batam, makin mencorong. Dua tahun terakhir ini perkembangannya cukup pesat. Ini terlihat dari banyaknya investor yang tertarik menanamkan modal di industri galangan kapal.
Batam masih menjadi Incaran Investor Perkapalan Dunia karena lokasi yang strategis dan sumber daya manusia yang terampil. Sehingga membuat sektor usaha perbaikan kapal (dok shipyard) berkembang pesat hingga mencapai 70 perusahaan galangan kapal. Dengan jumlah ini, Batam menjadi kota terbesar dalam dunia perkapalan di Indonesia. Batam bahkan sudah direncanakan menjadi lokasi strategis industri perkapalan di Indonesia dan diperkirakan akan Ada 160 hingga 170 perkapalan di Indonesia dan 70 perusahaanya ada di Batam.
Namun kini tampaknya selain Migas, industry perkapalan juga banyak dikuasai oleh perusahaan asing. Bila kita perhatikan di Pulau Batam, Karimun, Dan Bintan, hampir tidak ada perusahaan tersebut berbendera merah putih. Padahal kalau dilihat dari sumber daya manusia justru orang orang Indonesia yang cukup banyak membesarkan perusahaan asing tersebut.
Sangat disayangkan sekali kita banyak Engineer perkapalan, Naval, hydro, stability, structure, material, welding, management, tapi tidak melahirkan pengusaha pengusaha yang mengusai industry offshore ini. Apa yang kurang dari Eng Indonesia.?
Bila dilihat Nusantara ini dengan 13674 pulau untuk kebutuhan dalam negri saja berapa kapal asing harus kita supply, mulai dari kapal nelayan, kapal penumpang, kapal kargo, kapal perang, kapal selam, kapal wisata, kapal rig, kapal tongkang, kapal tug boat, dll. semoga kelak kebutuhan ini dapat kita supply oleh industry galangan kapal milik kita sendiri, bahkan untuk docking kapal2 banyak di Singapura.
Berlanjutnya penguatan ekspor mendorong kinerja investasi pada triwulan I-2010, tumbuh meningkat. Komponen Penanaman Modal Tetap Bruto (PMTB) tumbuh 21,9% (y-oy), sedangkan di triwulan sebelumnya mengalami peningkatan 19,6%. Kegiatan investasi diproyeksi akan semakin tumbuh sebagaimana terkonfirmasi dari tren pertumbuhan impor
Berdasarkan jenis industrinya, investasi di triwulan berjalan sebagian besar dilakukan oleh industri galangan kapal (shipyard) baik untuk jasa pembuatan maupun perbaikan kapal, serta industri elektronik dllnya, mulai memperlihatkan optimisme meskipun belum kembali pada level pertumbuhan sebelum krisis.
Pada pertengahan Januari 2010 Drydocks World (DDW) Batam me-lounching Jack Up Drilling Rigs L-205 Haven senilai US$ 200 juta yang rencananya akan dikirim ke Norwegia pada bulan Mei 2010. Rig ini merupakan Rig ke-5 dari enam proyek pembangunan Rig yang saat ini sedang dikerjakan oleh Drydocks World Batam. Sejak awal 2009, perusahaan memiliki 6 proyek besar pembuatan Jack-Up Rig yang memakan waktu sekitar 24 – 30 bulan dan menelan investasi sekitar US$150-US$200 juta untuk masing-masing Rig. Adapun 4 Rig sebelumnya telah diselesaikan di tahun 2009 yang dipesan oleh UMW Standard Drilling untuk dioperasikan pada proyek-proyek Petronas di Malaysia. Sementara 2 rig terakhir adalah pesanan Conoco Phillips Skandinavia AS untuk aktivitas pengeboran di sumur milik Master Marine ASA – Norwegia, yang rencananya akan dikirim pada bulan Mei dan September 2010. Drydocks World Dubai telah berinvestasi di Batam sejak tahun 2008 dengan membeli 3 perusahaan galangan kapal/shipyard di Batam milik Labroy Marine Limited–Singapore melalui Drydocks World-SE Asia. Ketiga perusahaan shipyard dimaksud adalah Pan United (berubah menjadi Drydocks World Pertama), Naninda Mutiara Shipyard (menjadi Drydocks World Naninda), dan Graha Trisaka (menjadi Drydocks World Graha). Dengan demikian DryDocks World (group) menjadi perusahaan galangan kapal terbesar di Batam yang mempekerjakan sekitar 25.000 karyawan. Investasi di industri galangan kapal juga rencananya dilakukan oleh Singa Tec, yakni sebuah perusahaan Shipyard asal Singapura yang berlokasi di Bintan Industrial Estate, Lobam (Bintan). Nilai investasi di triwulan I-2010 diperkirakan sebesar US$ 500 ribu untuk melakukan ship cleaning (pembersihan kapal). Investasi Singa Tec dalam rangka perluasan usaha direncanakan mencapai US$ 5 juta di tahun 2010 (Sinar Harapan, Feb.2010). Selain itu TNIAL telah melakukan pemesanan pembuatan Kapal Cepat Rudal (KCR-40) kepada PT. Palindo Marine Shipyard Batam dengan nilai proyek sebesar Rp 60 milyar. Sampai dengan 2014, jumlah kapal yang akan dipesan TNI-AL mencapai 22 unit dengan pemesanan tiap tahunnya direncanakan 4-5 unit (Kompas, Januari 2010).
Animo investor asing untuk menanamkan modalnya pada industri pembuatan/ perbaikan kapal di Batam ke depannya masih cukup tinggi. Dari 20 proyek rencana investasi senilai US$ 16,89 juta yang disetujui selama triwulan I-2010, 3 proyek diantaranya di bidang pembuatan/perbaikan kapal (BP Kawasan FTZ-Batam, April 2010). Adapun di tahun 2009, rencana investasi di sektor ini sebanyak 8 proyek dari 82 proyek PMA yang disetujui. Di
samping itu, minat investasi asing di bidang perdagangan, hotel dan restoran juga semakin tumbuh. Pada triwulan I-2010 saja telah disetujui 7 proyek rencana investasi di sektor ini, sementara selama tahun 2009 disetujui sebanyak 19 proyek. Aplikasi proyek-proyek PMA tersebut masih didominasi oleh investor Singapura, diikuti negara Malaysia, Taiwan, Australia, Norwegia, Korea Selatan dan Belanda. DryDocks World (DDW) Batam (DDW Pertama, DDW Naninda dan DDW Graha) sebagai perusahaan galangan kapal terbesar di Batam dengan jumlah pekerja mencapai 25.000 orang, telah me-lounching penyelesaian proyek Jack Up Drilling Rigs L-205 Haven pada pertengahan Januari 2010. Rig tersebut rencananya akan dikirim ke Norwegia pada bulan Mei 2010. Rig ini merupakan Rig ke-5 dari 6 proyek pembangunan Rig yang saat ini sedang dikerjakan oleh Drydocks World Batam sejak awal 2009. Setiap proyek pembuatan Jack-Up Rig memakan waktu sekitar 24 – 30 bulan dengan nilai investasi masing-masing sekitar US$150-US$200. Di samping itu, Selain itu TNI-AL juga telah memesan pembuatan Kapal Cepat Rudal (KCR-40) kepada PT. Palindo Marine Shipyard Batam dengan nilai proyek sebesar Rp 60
milyar. Sampai dengan 2014, jumlah kapal yang akan dipesan TNI-AL mencapai 22 unit dengan pemesanan tiap tahunnya direncanakan 4-5 unit (Kompas, Januari 2010). Namun demikian, pemulihan industri galangan kapal Batam diperkirakan belum merata. Perusahaan shipyard skala menengah masih mengalami kesulitan akibat turunnya permintaan kapal dari dalam negeri, dan lebih memilih membeli kapal bekas impor yang lebih murah. Untuk itu, peran perbankan Nasional seharusnya lebih dioptimalkan untuk memberikan pembiayaan kepada sektor ini.
Sebagai negara maritim, Indonesia memang masih memiliki banyak problem disektor industri perkapalan. Mulai rendahnya kualitas industri kapal nasional, seringnya kecelakaan kapal di laut bahkan kurangnya kesadaran masyarakat terhadap optimalisasi sektor maritim. Problem seperti inilah yang menyebabkan negara kita belum bangkit dari krisis ekonomi yang berkepanjangan.
Penerapan asas cabotage yang mewajibkan penggunaan kapal berbendera Indonesia di perairan dalam negeri mulai tahun ini bakalan mendongkrak pemesanan industri kapal dalam negeri. Maklum, selama ini tingkat utilisasi industri galangan kapal masih cukup rendah.
Menurut data yang dirilis oleh Ikatan Perusahaan Industri Kapal dan Lepas Pantai Indonesia (Perlindo), dari total kapasitas terpasang industri galangan kapal baru sekitar 500.000 dead weigth ton (DWT), utilisasinya saat ini baru sekitar 30% - 40%. "Harapannya, dengan kenaikan order dalam negeri bisa menaikkan utilisasi industri galangan kapal baru menjadi sekitar 60%," kata Sekretaris Jenderal Ikatan Perusahaan Industri Kapal dan Lepas Pantai Indonesia (Perlindo) Bapak Wing Wiryawan, Rabu (17/3). Direktur Industri Maritim Ditjen Industri Alat Transportasi dan Telematika Kementerian Perindustrian Bapak Soerjono juga sependapat dengan Bapak Wiryawan. Menurut Bpk Soerjono, peningkatan order pembuatan kapal dari perusahaan dalam negeri akan memperbesar utilisasi industri galangan kapal yang ada sekarang.
Salah satu perusahaan yang memesan kapal ke galangan dalam negeri adalah Pertamina yang telah memesan 11 kapal baru. Oktober 2009 lalu, Pertamina memesan dua kapal tanker berkapasitas 3.500 DWT senilai US$ 24 juta kepada PT Data Radar Utama. "Harga kapal tanker dengan kasapsitas 3.500 DWT ini sekitar US$ 11 juta - US$ 12 juta per unit," ungkap Bpk Soerjono.
Tahun ini, kemungkinan besar Pertamina juga akan menambah pesanan kapal dengan kapasitas 6.500 DWT dan 17.500 DWT. Sayangnya, ia enggan memerinci order kapal tersebut. Selain pesanankapal baru, membaiknya industri galangan kapal lokal juga ditopang oleh industri perbaikan kapal. "Sebab, meski masih banyak kapal yang dibeli dari luar negeri, tapi perbaikannya pasti dilakukan di dalam negeri," kata Bapak Wiryawan.
Beliau malah membeberkan, untuk perbaikankapal, dari total kapasitas terpasang 9.500.000 DWT per tahun, saat ini utilisasinya sudah sekitar 95%. Dalam catatannya, saat ini setidaknya terdapat sekitar 9.400 unit kapal berbendera Indonesia dengan total kapasitas 11 juta DWT. Beliau berharap, jumlah unit kapal tersebut bisa naik 6,38% tahun ini menjadi sekitar 10.000 unit kapal. "Artinya, kebutuhan untuk perbaikan kapal masih lebih tinggi ketimbang kapasitas industri perbaikan kapalnya. Sehingga peluang industri kapal masih cukup besar," ujarnya.
Peluang industri perkapalan yang cukup bagus ini rupanya dimanfaatkan oleh investor. Akhir tahun lalu saja, setidaknya ada enam investor yang berencana menanamkan investasinya di bidang perkapalan dengan nilai investasi sekitar Rp 11,7 triliun. Enam investor itu antara lain PT Nanindo Batam, PT Salam Pacific Indonesia Lines, PT Dok dan perkapalan Surabaya dan PT D.